Oleh: Matroni el-Moezany*
Wacana pendidikan dewasa ini menjadi momok yang
sangat dominan, karena selama kita masih bisa melihat alam ini dan wacana
pendidikan akan terus hangat untuk dijadikan bahan refleksi bersama, mengingat
dunia pendidikan semakin hari semakin akan mengalami degradasi aksiologi
(kemerosotan nilai). Ini terlihat anak-anak kita sekarang ini yang enggan
membaca buku, lebih banyak maen game daripada baca buku.
Inilah sebenarnya yang akan berdampak pada
bangunan awal pendidikan, sehingga pada akhirnya dunia pendidikan akan
mengalami degradasi yang cukup dahsyat. Kalau kita boleh berkaca pada Barat
kita sudah kalah jauh, sebab Barat mengalami perkembangan pesat saat terbebas
dari tradisi skolastik yang didominasi elit gereja. Tapi kita harus mendidik
pendidikan kita sendiri sehingga tidak mengalami nir-nilai yang juga berdampak
pada masyarakat.
Dalam hal ini, pesatnya perkembangan sains dan
teknologi dalam satu sisi dapat mengantarkan kita untuk kesejahteraan materiilnya,
tetapi di sisi yang lain, paradigma sains dan teknolgi dengan berbagai
pendekatan dewasa ini sudah tidak lagi mementingkan sesuatu yang metafisik, telah
menyeret kita pada degradasi aksiologi dan kegelapan deminsi spiritual. Inilah
yang dikhawatirkan penulis sebagai pribadi dan manusia secara umum dewasa ini, yang
ditandai dengan kematian budaya humanisme dan hilangnya etos religiusitas dalam
kehidupan.
Keadaan sosio-budaya, sebagai manifestasi
empirik dari kita, yang sebaiknya didasarkan pada nilai-nilai normaif Ilahiyah,
semakin lama semakin jelas bahwa sudah mengalami pergeseran yang sungguh
berarti. Nilai-nilai altruistik (cinta kasih) tergeser dengan nilai
individualistik. Hal ini menarik akan tumbuhnya kompetensi hidup yang sangat
tajam.
Kekhawatiran itu tentunya beralasan, karena
dewasa ini, seperti apa yang diungkap oleh Prof. Cyril Edwin Blak dalam “Change
as Conditiou of Modern Life” sangat kuat dalam merombak struktur
nilai-nilai yang akhirnya memberi ruang akan hadirnya nilai baru, dan pandangan
baru yang akhirnya mengkristal dalam norma sosio-budaya yang cenderung tidak
manusiawi. Kristalisasi sosio-budaya seperti itu sangat lengket dengan
perkembangan iptek yang ditransformasikan melalui proses pendidikan yang
bernuansa parsial mengenai kita yang tidak lagi berpijak pada nilai-nilai
Ilahiyah, yang pada akhirnya lahir konsekuensi baru sebagai problematika humanisme
secara holistik-universal.
Dalam transfomasikan nilai yang krusial,
ternyata oreintasi pendidikan masih memilik peranan penting dalam sebuah
harapan untuk meluruskan penyimpangan yang terjadi dalam di sosio-budaya yang berkenaan
dengan persepsi ilmu dan diimplementasikan dalam kehidupan praksis manusia. Nanum
sejenak kita dihadapkan pada persoalan pendidikan yang mana dan bagaimana yang
memberikan pandangan yang utuh sebagai jembatan dalam upaya mempertahankan
nilai pendidikan dengan menekankan harmonisasi hubungan dengan alam, dan lingkungan,
yang dijiwai oleh nilai-nilai normatif Ilahiyah.
Dalam hal itu barangkali kita diingatkan oleh
H. Ensering yang dikutip Fachry Ali bahwa pendidikan yang didasarkan atas
tuntutan ilmu dan kebutuhan teknik adalah pendidikan yang mengutamakan
perkembangan rasio semata. Pendidikan yang memiliki dasar demikian, akan
menghasilkan orang-orang cerdas yang memiliki pikiran brilian.
Berkenaan dengan ilmu dan moral, Jujun S.
Suriasumantri bahwa ilmu yang membuat jadi pandai, teknologi memberi kemudahan,
namun semuanya tidak membawa bahagia dan hanya sepi dan kengerian yang
terbayang. Kenyataanya hal
itu adalah karena masing-masing pengetahuan itu terpisah. Ilmu terpisah dari moral, moral terpisah dari
seni, seni pun terpisah dari ilmu. Kita hanya memiliki pengetahuan yang Parsial.
Melihat perkembangan ilmu yang tidak membawa
kemaslahatan, Albert Eistein menyampaikan sebuah pernyataan kolektif, di kala
ia berpesan kepada mahasisawanya bahwa “Mengapa ilmu yang sangat indah ini,
yang mengemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan
yang sedikit kepada kita? Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan
yang melelahkan malah menjadikan kita manusia budak-budak mesin?”.
Secara representatif, pernyataan di atas merupakan
fenomena dunia empiris. Dimana dunia dirasakan semakin lama tak lagi
menjungjung harmonisasi, jauh terlepas dari idealisasi hidup yang dituntunkan
Tuhan kepada kita. Pendidikan
dan segala muatan ilmu digambarkan sesuatu yang dinamis penuh dengan daya
kreatif. Tapi tidak menjanjikan
hadirnya kebahagiaan sejati dalam diri kita.
Dalam kekhawatiran Karl Jaspers misalnya
mengungkap bahwa dunia benar-benar mengalami dispiritualisasi yang tunduk
kepada rezim kemajuan tekonologi. Senada dengan kekhawatiran Eistein. Kals
Jaspers menegaskan kembali bahwa manusia tampaknya mampu menghapuskan dirinya,
untuk kehilangan dirinya sendiri serta mendapat kepuasan dalam keadaan yang impersonality
(tanpa kepribadian). Kita saat ini sedang perjalanan menunggu tenggelamnya
kita ke dalam mesin.
Dengan bahasa yang indah, semua itu karena
miskinnya wawasan aksiologi pendidikan pada seluruh deminsi keilmuan yang
dikembangkan kita. Terdapat bentangan yang tajam dalam aspek rasionalitas dan
aspek aksiologi, ke-shok-an budaya tidak bisa ditutupi sebagai wujud kekejaman
rasionalitas kita. Kekejaman dengan senjata ilmu, tidak bisa dilepaskan dari
pandangannya dari kepribadian dirinya, yang nota bene dibentuk dengan
proses pendidikan dengan paradigma yang berpijak hanya pada aspek kognisi
dengan melepaskan aspek yang lebih bersifat transenden. Pengembangan akasilogis
manusia menjadi sesuatu yang asing dalam proses pendidikan.
Melalui pendidikan yang berwawasan aksioligis,
peserta didik akan terbantu dalam pengembangan pemahamannya tentang gejolak
budaya. Dalam suasana pendidikan aksiologis tersebut, perserta didik akan juga
lebih berani mengambil peran penting dalam kegiatan kontrusktif yang dapat
menjamin ketetapan terhadap tegaknya nilai-nilai pendidikan dan demokrasi,
sehingga tidak mengesampingkan aksiologi pendidikan terhadap anak didik kita.
*Penulis adalah pemerhati pendidikan dan
Derektur Eksekutif Monrea Banni.
Di muat Koran
Merapi Jum’at
Wage, 16 Mei 2008
bagus artikelnya
BalasHapuspendidikan sekarang memang cenderung pragmatis.. hanya memenuhi kebutuhan industri
BalasHapus