Selasa, 06 Oktober 2015

Degradasi Aksiologi Pendidikan Kita


Oleh: Matroni el-Moezany*

Wacana pendidikan dewasa ini menjadi momok yang sangat dominan, karena selama kita masih bisa melihat alam ini dan wacana pendidikan akan terus hangat untuk dijadikan bahan refleksi bersama, mengingat dunia pendidikan semakin hari semakin akan mengalami degradasi aksiologi (kemerosotan nilai). Ini terlihat anak-anak kita sekarang ini yang enggan membaca buku, lebih banyak maen game daripada baca buku.
Inilah sebenarnya yang akan berdampak pada bangunan awal pendidikan, sehingga pada akhirnya dunia pendidikan akan mengalami degradasi yang cukup dahsyat. Kalau kita boleh berkaca pada Barat kita sudah kalah jauh, sebab Barat mengalami perkembangan pesat saat terbebas dari tradisi skolastik yang didominasi elit gereja. Tapi kita harus mendidik pendidikan kita sendiri sehingga tidak mengalami nir-nilai yang juga berdampak pada masyarakat.
    
Dalam hal ini, pesatnya perkembangan sains dan teknologi dalam satu sisi dapat mengantarkan kita untuk kesejahteraan materiilnya, tetapi di sisi yang lain, paradigma sains dan teknolgi dengan berbagai pendekatan dewasa ini sudah tidak lagi mementingkan sesuatu yang metafisik, telah menyeret kita pada degradasi aksiologi dan kegelapan deminsi spiritual. Inilah yang dikhawatirkan penulis sebagai pribadi dan manusia secara umum dewasa ini, yang ditandai dengan kematian budaya humanisme dan hilangnya etos religiusitas dalam kehidupan.
Keadaan sosio-budaya, sebagai manifestasi empirik dari kita, yang sebaiknya didasarkan pada nilai-nilai normaif Ilahiyah, semakin lama semakin jelas bahwa sudah mengalami pergeseran yang sungguh berarti. Nilai-nilai altruistik (cinta kasih) tergeser dengan nilai individualistik. Hal ini menarik akan tumbuhnya kompetensi hidup yang sangat tajam.
Kekhawatiran itu tentunya beralasan, karena dewasa ini, seperti apa yang diungkap oleh Prof. Cyril Edwin Blak dalam “Change as Conditiou of Modern Life” sangat kuat dalam merombak struktur nilai-nilai yang akhirnya memberi ruang akan hadirnya nilai baru, dan pandangan baru yang akhirnya mengkristal dalam norma sosio-budaya yang cenderung tidak manusiawi. Kristalisasi sosio-budaya seperti itu sangat lengket dengan perkembangan iptek yang ditransformasikan melalui proses pendidikan yang bernuansa parsial mengenai kita yang tidak lagi berpijak pada nilai-nilai Ilahiyah, yang pada akhirnya lahir konsekuensi baru sebagai problematika humanisme secara holistik-universal.
Dalam transfomasikan nilai yang krusial, ternyata oreintasi pendidikan masih memilik peranan penting dalam sebuah harapan untuk meluruskan penyimpangan yang terjadi dalam di sosio-budaya yang berkenaan dengan persepsi ilmu dan diimplementasikan dalam kehidupan praksis manusia. Nanum sejenak kita dihadapkan pada persoalan pendidikan yang mana dan bagaimana yang memberikan pandangan yang utuh sebagai jembatan dalam upaya mempertahankan nilai pendidikan dengan menekankan harmonisasi hubungan dengan alam, dan lingkungan, yang dijiwai oleh nilai-nilai normatif Ilahiyah.
Dalam hal itu barangkali kita diingatkan oleh H. Ensering yang dikutip Fachry Ali bahwa pendidikan yang didasarkan atas tuntutan ilmu dan kebutuhan teknik adalah pendidikan yang mengutamakan perkembangan rasio semata. Pendidikan yang memiliki dasar demikian, akan menghasilkan orang-orang cerdas yang memiliki pikiran brilian.
Berkenaan dengan ilmu dan moral, Jujun S. Suriasumantri bahwa ilmu yang membuat jadi pandai, teknologi memberi kemudahan, namun semuanya tidak membawa bahagia dan hanya sepi dan kengerian yang terbayang. Kenyataanya hal itu adalah karena masing-masing pengetahuan itu terpisah. Ilmu terpisah dari moral, moral terpisah dari seni, seni pun terpisah dari ilmu. Kita hanya memiliki pengetahuan yang Parsial.
Melihat perkembangan ilmu yang tidak membawa kemaslahatan, Albert Eistein menyampaikan sebuah pernyataan kolektif, di kala ia berpesan kepada mahasisawanya bahwa “Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang mengemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan malah menjadikan kita manusia budak-budak mesin?”.
Secara representatif, pernyataan di atas merupakan fenomena dunia empiris. Dimana dunia dirasakan semakin lama tak lagi menjungjung harmonisasi, jauh terlepas dari idealisasi hidup yang dituntunkan Tuhan kepada kita. Pendidikan dan segala muatan ilmu digambarkan sesuatu yang dinamis penuh dengan daya kreatif. Tapi tidak menjanjikan hadirnya kebahagiaan sejati dalam diri kita.
Dalam kekhawatiran Karl Jaspers misalnya mengungkap bahwa dunia benar-benar mengalami dispiritualisasi yang tunduk kepada rezim kemajuan tekonologi. Senada dengan kekhawatiran Eistein. Kals Jaspers menegaskan kembali bahwa manusia tampaknya mampu menghapuskan dirinya, untuk kehilangan dirinya sendiri serta mendapat kepuasan dalam keadaan yang impersonality (tanpa kepribadian). Kita saat ini sedang perjalanan menunggu tenggelamnya kita ke dalam mesin.
Dengan bahasa yang indah, semua itu karena miskinnya wawasan aksiologi pendidikan pada seluruh deminsi keilmuan yang dikembangkan kita. Terdapat bentangan yang tajam dalam aspek rasionalitas dan aspek aksiologi, ke-shok-an budaya tidak bisa ditutupi sebagai wujud kekejaman rasionalitas kita. Kekejaman dengan senjata ilmu, tidak bisa dilepaskan dari pandangannya dari kepribadian dirinya, yang nota bene dibentuk dengan proses pendidikan dengan paradigma yang berpijak hanya pada aspek kognisi dengan melepaskan aspek yang lebih bersifat transenden. Pengembangan akasilogis manusia menjadi sesuatu yang asing dalam proses pendidikan.
Melalui pendidikan yang berwawasan aksioligis, peserta didik akan terbantu dalam pengembangan pemahamannya tentang gejolak budaya. Dalam suasana pendidikan aksiologis tersebut, perserta didik akan juga lebih berani mengambil peran penting dalam kegiatan kontrusktif yang dapat menjamin ketetapan terhadap tegaknya nilai-nilai pendidikan dan demokrasi, sehingga tidak mengesampingkan aksiologi pendidikan terhadap anak didik kita.
           

*Penulis adalah pemerhati pendidikan dan Derektur Eksekutif Monrea Banni.
Di muat Koran Merapi Jum’at Wage, 16 Mei 2008

2 komentar:

  1. pendidikan sekarang memang cenderung pragmatis.. hanya memenuhi kebutuhan industri

    BalasHapus